SOSMED


Saturday, November 5, 2011

artikel tentang songkok to bone

Songkok Recca (songkok to bone )

Okey para sobat blogger kali ini saya posting mengenai pakaian adat bone salah satunya songkok recca atau sering disebut songkok to bone yaitu  sering juga disebut Kilo-Kilo atau yang dikenal dengan Songko Bone ini sekarang menjadi pakaian adat resmi masarakat Sumbawa bahkan pada Musyakara Rea’ atau Musyakara Adat Samawa di Istana Tua kemarin, banyak diantara peserta yang mengenakan Kilo-Kilo lengkap dengan jas hitam dengan rantai begelantungan dikantong jasnya, tanpa memahami asal usul pakain yang dipakainya itu.

Sebagai refrensi saya mengajak pembaca khususnya Tau Samawa untuk mengenal sedikit tentang Songko / Kopiah yang disebut Kilo-Kilo ini. Songko ini berasal dari Bone Sulawesi Selatan sehingga banyak pula orang menamakan nya sebagai Songko Bone. Didaerah asalnya Songko ini memiliki nama yang sangat kental dengan kehidupan masarakat Bone Sulawesi. Songko ini tidak dikenal sebagai Songko Bone akan tetapi dikenal dengan sebutan SONGKO RECCA. Ia terbuat dari serat pelepah daun lontar. Cara membuat Songko ini pun sangat sulit yakni dengan cara memukul-mukul pelepah daun lontar hingga yang tersisa hanya seratnya. Cara ini kalau dalam bahasa Bugis disebut “ DIRECCA-RECCA “ atau dipukul-pukul. Serat pelepah daun lontar ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat Songko Recca yang halus maka serat nya harus diambil yang halus begitu pula sebaliknya, serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula.
Untuk menganyam serat menjadi Sonkok menggunakan perlatan yang disebut ASSARENG . Alat ini  terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Menurut sejarah yang kami kutip dari Lembaga Seni Budaya Teluk Bone,Songko Recca ini muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan Songkok Recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Raja Bone ke-31 ( Raja Andi Mappanyukki ), Songkok Recca ini dibuat dengan pinggiran emas atau dalam bahasa Bugis nya disebut PAMIRING PULAWENG yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa Kabupaten di Sulawesi sudah memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa Songkok Recca yang biasa juga disebut sebagai Songko Bone ini merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masarakat Bone.
Ditempat asalnya yakni di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan Songko Recca ini diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat  komunitas masyarakat yang secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil mengayam pelepah daun lontar atau membuat Songkok Recca ini.
Nah …..bagaimana dengan kita di Sumbawa, apakah tetap menjadikan Songko Recca atau Kilo-Kilo ini sebagai pakaian adat resmi di Sumbawa ??  Rasanya lucu jika harus seperti itu, apalagi pengrajin nya tidak terdapat di Sumbawa. Lalu bagaimana dengan keluarga Raja Sumbawa apakah juga tidak boleh memakainya. Jawaban nya sederhana..boleh…. karena  Songko Recca itu adalah topi kebesaran Raja yang dipakai sehari-hari. Sementara Mahkota Raja hanya dipakai pada waktu dan acara-acara kebesaran kerajaan.
Pada pembukaan Musakara Rea’ di Dalam Loka atau Istana Tua Sumbawa kemarin, putra mahkota Raja Sumbawa Daeng Ewan, terlihat mengenakan Kilo-Kilo karena itu memang pakaian sehari-hari beliau sebagai seorang Putra Mahkota.  Lalu yang lain..tentu tidak etis menyamakan diri mereka dengan Putra Mahkota. Mereka hanya boleh menggunakan SAPU plus PABASA bagi laki-laki dan CIPO bagi wanita plus LAMUNG PENE.
Saya sangat salut dengan Wakil Gubernur NTB yang mengenakan SAPU dan PABASA pada pembukaan Musakara itu, padahal sebagai orang nomor dua di NTB beliau semestinya mengenakan Kilo-Kilo itu. Mengapa pula tidak..karena pak Wagub mengerti dan memahami betul apa yang beliau kenakan. Wakil Gubernur kita adalah sebuah contoh yang harus diikuti oleh semua komponen masarakat, terutama para pejabat yang mungkin malu menggunakan pakaian khas daerah nya sendiri.
Didalam Musakara Rea yang digelar tiap tahun itu,sama sekali tidak menyingung soal pakaian adat resmi ini, malah yang terdengar ada wacana dari lembaga adat Sumbawa bahwa mereka ingin mengangkat Putra Mahkota ( Daeng Ewan ) sebagai Raja Sumbawa..itupun dengan SK Bupati…ha..ha..ha..ha lucu cekali. Masa Raja diangkat oleh Bupati.
Benar juga kata sebagian warga masarakat bahwa di Sumbawa banyak hal-hal aneh terutama dalam soal pengembangan budaya. Sebelum Musakara Rea’ itu digelar ada pagelaran dan lomba Sakeco Kratif. Lagi-lagi mengundang kelucuan..Disebut Sakeco Kratif karena Sakeco itu diiringi dengan music moderen seperti, gitar, organ dll padahal sebenarnya jika bicara soal Sakeco, maka Sakeco yang dikenal dan masih menjadi bagian dari kehidupan social masarakat Sumbawa hanya terdiri dari dua orang plus masing-masing menabuhkan Rebana Ode. Mereka menyenandungkan bait-bait LAWAS atau bahasa puitik Orang Sumbawa. Mereka bisa cerita tentang muda mudi juga berisi kritik-kritik dan petuah petiti bahkan Pasakeco bias membuat orang yang mendengar nya ketawa terpingkal-pingkal atau menagis karena sedinya cerita yang dibawakan mereka/.
“ Temung “  atau lantunan Sakeco terdiri dua bentuk. Pertama Temung Ano Siup dan kedua Temung Ano Rawi. Temung Ano Siup atau Ano Siep meliputi kawasan tengah,selatan dan timur Sumbawa. Lantunan nya agak datar. Sedangkan Temung Ano Rawi meliputi Sumbawa bagian Barat hingga ke Sumbawa Barat, lantunan nya lebih beriama.

No comments:

Post a Comment