Songkok Recca (songkok to bone )
Sebagai
refrensi saya mengajak pembaca khususnya Tau Samawa untuk mengenal
sedikit tentang Songko / Kopiah yang disebut Kilo-Kilo ini. Songko ini
berasal dari Bone Sulawesi Selatan sehingga banyak pula orang menamakan
nya sebagai Songko Bone. Didaerah asalnya Songko ini memiliki nama yang
sangat kental dengan kehidupan masarakat Bone Sulawesi. Songko ini tidak
dikenal sebagai Songko Bone akan tetapi dikenal dengan sebutan SONGKO
RECCA. Ia terbuat dari serat pelepah daun lontar. Cara membuat Songko
ini pun sangat sulit yakni dengan cara memukul-mukul pelepah daun lontar
hingga yang tersisa hanya seratnya. Cara ini kalau dalam bahasa Bugis
disebut “ DIRECCA-RECCA “ atau dipukul-pukul. Serat pelepah daun lontar
ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam
kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah
menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa
hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi
pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang
kasar, sehingga untuk membuat Songko Recca yang halus maka serat nya
harus diambil yang halus begitu pula sebaliknya, serat yang kasar
menghasilkan hasil yang agak kasar pula.
Untuk menganyam serat menjadi Sonkok menggunakan perlatan yang disebut ASSARENG . Alat ini terbuat
dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai
songkok. Assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga
menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok
yang akan dibuat.
Menurut
sejarah yang kami kutip dari Lembaga Seni Budaya Teluk Bone,Songko
Recca ini muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun
1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan Songkok Recca’ sebagai
tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada
zaman pemerintahan Raja Bone ke-31 ( Raja Andi Mappanyukki ), Songkok
Recca ini dibuat dengan pinggiran emas atau dalam bahasa Bugis nya
disebut PAMIRING PULAWENG yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan
tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya.
Bahkan beberapa Kabupaten di Sulawesi sudah memproduksinya sehingga
dapat dikatakan, bahwa Songkok Recca yang biasa juga disebut sebagai
Songko Bone ini merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masarakat Bone.
Ditempat
asalnya yakni di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan Songko Recca ini
diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut
terdapat komunitas masyarakat yang secara turun temurun
menafkahi keluarganya dari hasil mengayam pelepah daun lontar atau
membuat Songkok Recca ini.
Nah
…..bagaimana dengan kita di Sumbawa, apakah tetap menjadikan Songko
Recca atau Kilo-Kilo ini sebagai pakaian adat resmi di Sumbawa ?? Rasanya
lucu jika harus seperti itu, apalagi pengrajin nya tidak terdapat di
Sumbawa. Lalu bagaimana dengan keluarga Raja Sumbawa apakah juga tidak
boleh memakainya. Jawaban nya sederhana..boleh…. karena Songko
Recca itu adalah topi kebesaran Raja yang dipakai sehari-hari.
Sementara Mahkota Raja hanya dipakai pada waktu dan acara-acara
kebesaran kerajaan.
Pada
pembukaan Musakara Rea’ di Dalam Loka atau Istana Tua Sumbawa kemarin,
putra mahkota Raja Sumbawa Daeng Ewan, terlihat mengenakan Kilo-Kilo
karena itu memang pakaian sehari-hari beliau sebagai seorang Putra
Mahkota. Lalu yang lain..tentu tidak etis menyamakan diri
mereka dengan Putra Mahkota. Mereka hanya boleh menggunakan SAPU plus
PABASA bagi laki-laki dan CIPO bagi wanita plus LAMUNG PENE.
Saya
sangat salut dengan Wakil Gubernur NTB yang mengenakan SAPU dan PABASA
pada pembukaan Musakara itu, padahal sebagai orang nomor dua di NTB
beliau semestinya mengenakan Kilo-Kilo itu. Mengapa pula tidak..karena
pak Wagub mengerti dan memahami betul apa yang beliau kenakan. Wakil
Gubernur kita adalah sebuah contoh yang harus diikuti oleh semua
komponen masarakat, terutama para pejabat yang mungkin malu menggunakan
pakaian khas daerah nya sendiri.
Didalam
Musakara Rea yang digelar tiap tahun itu,sama sekali tidak menyingung
soal pakaian adat resmi ini, malah yang terdengar ada wacana dari
lembaga adat Sumbawa bahwa mereka ingin mengangkat Putra Mahkota ( Daeng
Ewan ) sebagai Raja Sumbawa..itupun dengan SK Bupati…ha..ha..ha..ha
lucu cekali. Masa Raja diangkat oleh Bupati.
Benar
juga kata sebagian warga masarakat bahwa di Sumbawa banyak hal-hal aneh
terutama dalam soal pengembangan budaya. Sebelum Musakara Rea’ itu
digelar ada pagelaran dan lomba Sakeco Kratif. Lagi-lagi mengundang
kelucuan..Disebut Sakeco Kratif karena Sakeco itu diiringi dengan music
moderen seperti, gitar, organ dll padahal sebenarnya jika bicara soal
Sakeco, maka Sakeco yang dikenal dan masih menjadi bagian dari kehidupan
social masarakat Sumbawa hanya terdiri dari dua orang plus
masing-masing menabuhkan Rebana Ode. Mereka menyenandungkan bait-bait
LAWAS atau bahasa puitik Orang Sumbawa. Mereka bisa cerita tentang muda
mudi juga berisi kritik-kritik dan petuah petiti bahkan Pasakeco bias
membuat orang yang mendengar nya ketawa terpingkal-pingkal atau menagis
karena sedinya cerita yang dibawakan mereka/.
“ Temung “ atau
lantunan Sakeco terdiri dua bentuk. Pertama Temung Ano Siup dan kedua
Temung Ano Rawi. Temung Ano Siup atau Ano Siep meliputi kawasan
tengah,selatan dan timur Sumbawa. Lantunan nya agak datar. Sedangkan
Temung Ano Rawi meliputi Sumbawa bagian Barat hingga ke Sumbawa Barat,
lantunan nya lebih beriama.
No comments:
Post a Comment